Label Kedaluwarsa jadi Sorotan Dalam Diskusi Publik, Perlindungan Konsumen Prioritas

  • Bagikan

BANJARMASIN, POSTKALIMANTAN.com – Semakin pesatnya aktivitas perdagangan dan pertumbuhan UMKM di Kalimantan Selatan menjadi dua sisi mata uang yang membawa tantangan tersendiri, khususnya dalam hal perlindungan konsumen.

Di tengah dinamika ini, sebuah inisiatif dialog publik yang dikemas dalam bentuk podcast interaktif digelar pada Jumat (9/5/2025), di Excelso Banjarmasin, Jalan A. Yani Km 5,5. Acara yang berlangsung sejak pagi pukul 09.00 WITA ini menghadirkan deretan narasumber dari berbagai lini unsur pemerintahan, penegak hukum, pengamat hukum, hingga organisasi masyarakat sipil.

Podcast ini diinisiasi sebagai respon atas meningkatnya kasus pelanggaran hak-hak konsumen, sekaligus bentuk upaya edukasi yang inklusif dan partisipatif.

Tidak sekadar menjadi forum bincang santai, acara ini menjadi ruang advokasi publik, menyatukan suara konsumen dan pihak berwenang dalam satu meja diskusi.

Isu yang menjadi pembuka adalah kasus yang menimpa seorang pelaku usaha mikro di Kalimantan Selatan. UMKM tersebut diketahui memasarkan produk makanan kemasan tanpa mencantumkan tanggal kedaluwarsa.

Meski terlihat sepele, pelanggaran tersebut berdampak serius karena menyangkut aspek keamanan konsumen. Kasus ini lantas ditindaklanjuti oleh aparat kepolisian setelah menerima laporan dari masyarakat, hingga akhirnya bergulir ke ranah hukum.

Hal ini kemudian menjadi titik pijak diskusi yang lebih luas tentang pentingnya edukasi dan kepatuhan hukum bagi pelaku usaha, serta kesadaran konsumen dalam memilih produk yang aman dan layak konsumsi.

Dalam paparannya, Lukman Simanjuntak, SE., MM, Petugas Pengawas Barang Beredar dan Ahli di bidang Perlindungan Konsumen, menekankan bahwa informasi yang tercantum pada label produk memiliki peran vital dalam menjamin hak-hak konsumen.

“Kita sering menganggap label itu hanya stiker, padahal di sanalah konsumen mengambil keputusan. Tanggal kedaluwarsa, komposisi, mutu, semua itu wajib disampaikan dengan jujur dan lengkap,” ujarnya.

Lukman juga memberikan penjelasan mendalam bahwa tidak semua produk wajib mencantumkan tanggal kedaluwarsa.

Produk segar seperti ikan atau buah yang dijual secara langsung tanpa kemasan, masih dalam koridor pengecualian. Namun untuk produk berkemasan, kewajiban itu bersifat mutlak sesuai regulasi yang berlaku.

Baca Juga !  Deklarasi DPD PAN se Kalsel Atas Pencalonan Haji Muhidin sebagai Calon Gubernur 2024

“Jangan sampai pelaku usaha hanya fokus pada keuntungan. Keselamatan dan hak konsumen harus menjadi bagian dari etika bisnis,” tambahnya.

Ia juga menyayangkan bahwa masih banyak UMKM yang belum memahami aturan secara utuh, sehingga terjebak pada pelanggaran administratif yang bisa berujung proses hukum.

Menanggapi isu tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Kalimantan Selatan, Sulkan, SH., MM, menyampaikan bahwa pemerintah tidak serta-merta melakukan pendekatan represif terhadap UMKM, melainkan lebih mengedepankan edukasi dan pendampingan.

“Kami ingin membangun ekosistem perdagangan yang sehat. Perlindungan konsumen adalah bagian dari pembangunan ekonomi yang inklusif. Namun, tentu aturan tetap harus ditegakkan,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa laporan masyarakat menjadi indikator awal dalam proses penegakan hukum. Ketika ada laporan, pihak berwenang wajib menindaklanjuti untuk memastikan apakah memang terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

“Jangan disalahartikan bahwa aparat mencari-cari kesalahan. Ini adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap keselamatan konsumen,” tegas Sulkan.

Pihaknya juga telah merancang program pembinaan reguler bagi pelaku UMKM, agar mereka memahami prosedur legalitas produk, hak-hak konsumen, serta aspek keamanan pangan.

Dari sisi penegakan hukum, AKP Sufian Noor, SE., MM, Penyidik Ditreskrimsus Polda Kalimantan Selatan, menyampaikan bahwa pihaknya selalu mengedepankan asas praduga tak bersalah dan bekerja berdasarkan data yang valid.

“Kami menerima laporan dari masyarakat, lalu kami verifikasi. Bila ditemukan indikasi pelanggaran, maka kami jalankan proses hukum sesuai prosedur,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa aparat penegak hukum tidak bertujuan mengkriminalisasi pelaku usaha, apalagi UMKM yang sedang berkembang. Namun, dalam beberapa kasus, pembiaran atas pelanggaran justru bisa menjadi preseden buruk yang membahayakan konsumen secara luas.

“Kasus ini juga sebagai bentuk pembelajaran publik. Kami terbuka jika pelaku usaha bersikap kooperatif dan ingin menyelesaikan secara baik, namun tetap ada batas hukum yang tidak boleh dilanggar,” ujarnya.

Baca Juga !  Yayasan Waladun Sholeh Gelar Pengukuhan dan Perpisahan Siswa Siswi Kelas VI Tahun Pelajaran 2022-2023

Peran masyarakat dalam isu perlindungan konsumen mendapat sorotan penting dari Hendra, Ketua Aliansi Masyarakat Pemerhati Kalimantan (AMPIK). Ia menyoroti lemahnya kontrol sosial dari masyarakat yang selama ini lebih banyak menjadi korban pasif.

“Sudah saatnya masyarakat bangkit sebagai konsumen kritis. Jangan hanya membeli, tapi juga harus punya keberanian untuk melapor bila merasa dirugikan,” ucapnya.

Hendra juga mengusulkan agar edukasi konsumen dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dasar, sehingga kesadaran hukum dan hak-hak konsumen tertanam sejak dini.

Ia menilai, seringkali masyarakat tidak tahu harus mengadu ke mana, atau bahkan tidak tahu bahwa mereka telah dirugikan secara hukum.

Melengkapi diskusi, Akhmad Ryan Firmansyah, seorang pengamat hukum, memberikan refleksi terhadap struktur hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Menurutnya, meski sudah memiliki UU No. 8 Tahun 1999, regulasi yang ada masih terkesan kaku dan belum menjawab dinamika baru dalam dunia perdagangan modern.

“Perdagangan kini tidak hanya fisik. Ada marketplace digital, ada produk digital, bahkan barang luar negeri masuk lewat e-commerce tanpa kontrol ketat. Apakah regulasi kita siap menghadapinya?” tanyanya.

Ryan mengusulkan revisi regulasi perlindungan konsumen yang lebih adaptif dan berbasis teknologi, serta memperkuat koordinasi antarinstansi agar tidak terjadi tumpang tindih dan konflik kewenangan.

Diskusi interaktif ini menegaskan bahwa perlindungan konsumen bukan semata urusan pemerintah atau aparat penegak hukum. Semua pihak pelaku usaha, akademisi, masyarakat, dan regulator memiliki tanggung jawab moral dan hukum dalam menciptakan perdagangan yang adil dan beretika.

Podcast ini menjadi model kolaborasi yang perlu direplikasi di berbagai daerah lain, sebagai bentuk pendekatan komunikasi publik yang tidak menggurui, melainkan memberdayakan.

Dengan semangat sinergi dan transparansi, Kalimantan Selatan diharapkan mampu menjadi pionir dalam pembangunan sistem perlindungan konsumen yang kuat, modern, dan menyentuh akar persoalan: keadilan bagi konsumen sebagai fondasi ekonomi yang berkelanjutan.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *